Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Selasa, 02 Februari 2010

Arogansi hukum pada rakyat kecil


Energi Penggugat Rasa Keadilan

Basar Suyanto dan Kholil tertegun. Rasa sedih menggurat di wajah mereka, sesaat setelah mendengar vonis yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Kediri, Jawa Timur, Rabu pekan lalu. "Bapak Basar dan Kholil sudah paham bahwa sampeyan dinyatakan bersalah mencuri semangka? Hukumannya masing-masing 15 hari, ya," kata Ketua Majelis Hakim Roro Budiarti Setyowati tanpa ekspresi.

Di benak keduanya, langsung terbayang pengalaman mengenaskan berada di balik jeruji besi Lembaga Pemasyarakatan Kediri. Selama dua bulan, keduanya melewatkan hari-hari tanpa didampingi keluarga. "Tapi sampeyan dihukum percobaan selama tiga bulan, jadi tidak perlu masuk penjara lagi," Roro menambahkan.

Pernyataan itu langsung disambut gembira oleh keduanya, "Allahu Akbar!" Mahasiswa Universitas Islam Kediri yang melakukan aksi unjuk rasa di depan pengadilan langsung merangsek masuk ke ruang sidang. Mereka ikut gembira atas putusan itu. Mahasiswa, yang sejak awal menuntut dibebaskannya Basar dan Kholil, juga membagikan buah semangka kepada para pengunjung sidang.
Tapi proses hukum yang dijalani keduanya telanjur mengundang sinisme masyarakat. Meski menjunjung tinggi supremasi hukum, akibat perbuatan yang nilai kerugiannya tak seberapa itu, Basar dan Kholil terpaksa meninggalkan keluarga, yang selama ini menggantungkan hidup dari hasil keringat keduanya, dan tinggal di balik jeruji besi. Padahal, masyarakat meyakini, keduanya tak akan melarikan diri layaknya koruptor kelas kakap yang berduit.

Kalimat-kalimat sinis pun terlontar di masyarakat. "Keadilan hanya milik orang berduit dan berkuasa," kata salah satu pengunjung sidang. Ungkapan itu bisa jadi cermin penegakan hukum di negeri ini, yang telanjur buram oleh sikap tak adil aparat penegak hukum. Betapa tidak, pada saat banyak koruptor melenggang bebas dan menikmati harta hasil jarahannya di luar negeri, segelintir masyarakat kelas bawah justru mendekam di penjara hanya karena mencuri barang yang nilainya tak seberapa dibandingkan dengan harta yang dijarah koruptor.

Hukum pun dipandang bak pedang bermata dua, yang tajam jika berhadapan dengan masyarakat kelas bawah tapi tumpul jika berhadapan dengan kebanyakan penguasa dan pemilik uang. Keadilan terkadang berubah menjadi sosok yang arogan terhadap masyarakat kelas bawah pencari keadilan. Simak saja kasus yang menimpa Minah, seorang nenek berusia 55 tahun di Banyumas, Jawa Tengah.

Nenek tujuh cucu dan buta huruf itu harus menerima kenyataan pahit. Gara-gara mencuri tiga buah kakao senilai tak lebih dari Rp 2.100 milik PT Rumpun Sari Antan, ia harus bolak-balik diperiksa polisi, jaksa, hingga pengadilan. Bahkan jaksa tanpa sungkan menetapkan Minah sebagai tahanan rumah.

Dalam sidang yang berlangsung pada medio November lalu, Minah akhirnya divonis satu setengah bulan penjara dengan masa percobaan tiga bulan. Majelis hakim Pengadilan Negeri Purwokerto, yang diketuai Bambang Lukomono, SH, MH, menilai perbuatan Minah telah memenuhi unsur pidana. Namun Bambang, yang sempat menitikkan air mata ketika membacakan vonis terhadap Minah, menyatakan bahwa majelis hakim juga mempertimbangkan latar belakang tindak pidana itu. "Ia sudah berkata jujur dan mengakui perbuatannya," kata Bambang.

Di luar itu semua, kasus yang paling menyedot perhatian banyak kalangan tak lain adalah kasus yang menimpa Prita Mulyasari. Kasus yang bermula dari e-mail Prita menyangkut pelayanan Rumah Sakit Omni International ini dijadikan momentum perlawanan masyarakat atas ketidakadilan aparat penegak hukum. Apalagi, ibu dua anak itu dijerat dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dinilai kontroversial. Prita juga sempat mendekam di bui selama 21 hari, meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil.

Kasus itu menimbulkan keprihatinan banyak kalangan. Dari politisi, kalangan LSM, masyarakat, hingga anak-anak. Mereka tergerak untuk menggalang bantuan bagi Prita yang dijadikan simbol perlawanan dalam penegakan hukum.

Aksi itu diwujudkan dengan pengumpulan koin dukungan bagi Prita. Hingga akhir pekan lalu, koin yang terkumpul mencapai Rp 825 juta. "Dukungan ini membuktikan, masyarakat ingin perkara ini tuntas, baik secara pidana maupun perdata. Dan jangan sampai ada lagi Prita-Prita yang lainnya," kata Slamet Juwono, pengacara Prita dari Kantor Hukum O.C. Kaligis & Associates.

Kondisi yang dihadapi Prita dan para pencari keadilan itu memang menggambarkan secara keseluruhan ironi dalam penegakan hukum di Tanah Air. Secara transparan, betapa banyak kasus pelanggaran hukum bernilai milyaran rupiah, bahkan trilyunan rupiah, hanya menjadi wacana dan debat terbuka di ruang-ruang publik tanpa ada tindakan tegas. Hal ini terlihat pada penanganan kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara.

Pihak kepolisian, menurut Wakil Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Brigadir Jenderal Polisi Sulistyo Ishak, sesungguhnya mendukung upaya mediasi dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana ringan seperti yang terjadi belakangan ini. Sulistyo meminta masyarakat tidak menilai tindakan kepolisian sebagai bentuk diskriminatif. Kata mantan Dirlantas Polda Metro Jaya itu, polisi bekerja sesuai dengan kapasitasnya sebagai aparat penegak hukum.

Seperti masyarakat lainnya, menurut Sulistyo, polisi ikut terusik oleh munculnya kasus-kasus miris yang terjadi belakangan ini. "Terus terang, kami juga tidak tega dan kasihan," ujarnya. Sulistyo menyatakan bahwa polisi pun mengedepankan proses mediasi antara pelaku dan pelapor.

Sulistyo menyatakan, penetapan seseorang yang belum jelas jenis kesalahannya melanggar asas praduga tidak bersalah. Polisi pun membuka diri untuk selalu diawasi masyarakat. Setiap perilaku tak terpuji anggota Polri, menurut Sulistyo, akan ditindak tegas. Sejauh ini, pihak kepolisian telah memproses dan menindak anggotanya yang melakukan pelanggaran kode etik ataupun tindak pidana.

sumber :
tulisan : gatra.com, bunyu online
gambar : agoratulsa.com

Bookmark and Share

Tidak ada komentar: