Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Rabu, 10 Februari 2010

Sikap JK Saat Diejek Poltak, Tukang Minyak

Ada hal yang cukup menarik dan juga cukup bermanfaat untuk dijadikan pelajaran ketika kita menyaksikan sidang Pansus Hak Angket Century, Kamis, 14/1/10. Saat itu Ruhut Sitompul mendapat giliran mengajukan pertanyaan kepada JK (Jusuf Kalla) yang memberikan kesaksian dalam sidang tsb.
Ruhut, pemain sinetron yang berperan sebagai Poltak si tukang minyak itu menyampaikan 2 hal yang sifatnya perdebatan dan ejekan. Ke dua hal tsb menjadi menarik untuk dicermati karena JK merespon perdebatan dan ejekan itu dengan cara yang bisa dijadikan pelajaran bagi kita semua agar tidak terjebak dalam debat kusir yang tidak sedap dilihat seperti yang pernah terjadi di antara Poltak si tukang minyak dan Prof Gayus Lumbun.
Perdebatan yang terjadi adalah ketika Poltak si tukang minyak menuding JK, mantan Wakil Presiden telah mengintervensi Polri. Pasalnya, JK telah memerintahkan polisi untuk menangkap salah satu komisris Bank Century, Robert Tantular.
JK saat itu menjawab dengan pernyataan yang bukan saja tepat tapi juga dibumbui dengan humor yang disambut dengan tawa dan tepuk tangan sejumlah anggota Pansus yang hadir. Jawaban JK lebih kurang adalah sbb: “Pangkat saya menjadi turun jika saya melakukan intervensi. Apa yang saya lakukan adalah perintah agar Polri menangkap Robert Tantular, bukan intervensi . . . . “
Dalam perdebatan tsb, JK juga membantah Si Poltak yang menudingnya telah merusak tatanan hukum. Dengan bantahan yang logis dan sederhana JK menjawab: "Apanya yang merusak, Polri itu atasannya presiden, karena BI tidak mau melaporkan, maka saya memerintahkan Polri untuk menangkap."
Tampaknya setelah tudingannya dibantah oleh JK dan bantahan tsb mendapat sambutan meriah dari sejumlah besar anggota Pansus, penyakit lidah tak bertulang si Poltak tukang minyak mulai kumat. Keluarlah kata-kata yang bernada ejekan. Poltak dengan gaya over acting seorang pemain sinetron yang tidak professional mulai memanggil JK dengan sebutan “Daeng” berkai-kali.
Apakah sebutan daeng dari si Poltak itu bernada ejekan, tentu masyarakat yang meyaksikan sidang pansus tsb bisa memperkirakannya. Untuk lebih memahami apakah sebutan daeng oleh si Poltak itu bernada ejekan atau tidak, mari kita simak pendapat dari salah seorang anggota Pansus yang juga berasal dari Bugis.
Anggota Pansus dari fraksi Hanura, Akbar Faizal mengatakan bahwa dalam struktur sosial Bugis, pelafalan “Daeng” cenderung digunakan untuk level masyarakat bawah. “Padahal, bagi kami Pak Jusuf Kalla itu sudah berada pada level yang sangat terhormat,” tutur Akbar yang juga berasal dari Bugis usai rapat pemeriksaan Pansus.
Selain Akbar, anggota Pansus asal Fraksi Golkar, Ibnu Munzir dan anggota pansus dari Fraksi PKS, Andi Rahmat, juga menyatakan keberatan serupa. Mereka memprotes keras Ruhut, dan memintanya untuk tidak lagi membawa-bawa simbol adat maupun SARA (suku, agama, ras, antargolongan) dalam proses pemeriksaan Pansus (Vivanews.com:15/1/10)
Sementara itu JK yang pada awalnya tampak sedikit emosi, terlihat tenang melihat Ruhut seperti kena batunya dengan dicecar oleh sesama rekannya di Pansus.
Pelajaran yang bisa dipetik dari peristiwa ini adalah jika kritik dalam suatu perdebatan masih bersifat logis dan relevan dengan masalah yang dibicarakan, debatlah kritik tsb dengan logis pula jika memang kritik tsb tidak benar.
Sebaliknya jika perdebatan sudah mulai mengarah kepada ejekan yang over acting dan tidak beretika, maka hal tsb bukan saja tidak perlu ditanggapi secara emosional tapi juga tidak perlu dilayani. Apalagi jika ejekan tsb memang berasal dari orang yang mengaku pakar hukum, tapi tidak beretika, dan dibenci banyak orang. Tanpa kita marah pun orang lain akan mewakili kita untuk marah.

Bookmark and Share

Tidak ada komentar: